SENJA telah tiba, ketika langkah kaki ini sampai di halaman depan rumah Dalang Ki Wasono Dalang (80), Dusun Karang Rejo, Desa Gondangwinangun, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Di ruang sederhana ini menyimpan atmosfer serba wayang. Di sudut ruang tertata kotak besar yang di dalamnya berisi wayang kulit bertampang unik.
Ki Wasono adalah seniman senior pelestari wayang purwo kedu, maha karya asli daerah ini. Di pundaknyalah kini hidup dan matinya wayang kedu itu bergantung. Bagi lelaki sepuh ini, wayang memang tak sekadar hiburan, tapi penggambaran karakter manusia.
Menurutnya, Wayang Kedu adalah "babon" atau induk dari seni pewayangan di tanah Jawa. Konon sebelum muncul wayang gaya Yogyakarta dan Surakarta, jenis Kedu sudah lebih dulu ada. Wayang ini pada masanya dulu tersohor, terutama di daerah asalnya Desa, Kedu, yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung. Namun, seiring bergulirnya waktu sepertinya wayang kedu semakin tenggelam ditelan zaman, terutama dengan maraknya kesenian modern yang lebih diminati kawula muda.
Model dan bentuk Wayang Kedu ujar Ki Wasono lebih sederhana dibanding wayang model Mataram. Semua bahanpun berasal dari alam, seperti kulit dan tulang sapi, sementara untuk pewarnaan diambilkan dari sari daun-daunan. Tokoh-tokoh dalam wayang kulit purwo kedu ini juga menggunakan tokoh pandawa lima. Perbedaan lain dengan jenis kebanyakan, terlihat dari perawakan wayang yang lebih besar dengan muka lebih mendunduk, serta pada rambut dan badan terdapat hiasan kembang.
Dari sisi kostum, wayang kedu hanya menggunakan cawat (pakaian dalam) saja. Ini berbeda dengan wayang model mataram yang ditunjukkan oleh Ki Wasono, yang menggunakan pakaian lengkap, rambut dan badan polos, bentuk lebih kecil dan muka lebih tegak.
Sinden Laki-laki
Uniknya, saat pementasan wayang kedu tidak menggunakan sinden perempuan layaknya pentas wayang kulit saat ini, tetapi sinden laki-laki yang sekaligus menjadi niyaga (penabuh gamelan). Saking sederhananya, wayang kedu hanya membutuhkan tujuh gamelan saja, yakni saron, Bonang, demung, kenong, robuk, kendang, dan gong.
"Selain itu, saat pentas, wayang kedu tidak menggunakan cerita seperti ramayana ataupun mahabharata. Cerita berdasarkan kehidupan masyarakat. Misalnya, jika yang nanggap orang punya hajat mantu (pernikahan), lakonnya mengambil kisah Gareng Mantu. Kalau yang nanggap orang sunatan, ya Semar supit," kata Ki Wasono.
Keturunan Pencetus
Ki Wasono sendiri mengaku merupakan keturunan ke delapan dari Ki Lebdo Jiwo, seorang yang diyakini sebagai pencetus wayang kulit purwo kedu dan pernah berjaya sekitar tahun 1595. Ki Lebdo Jiwo adalah seorang demang di Kerajaan Demak, dan merupakan orang kepercayaan Sunan Kalijaga karena keahliannya membuat wayang kulit purwo kedu.
Kendati demikian, dia adalah putra asli Desa Kedu, dan dalam perjalanannya Ki Lebdo Jiwo kemudian kembali ke tanah kelahirannya untuk melestarikan wayang. Kala itu, wayang kedu menjadi tontonan primadona masyarakat, di hampir seluruh wilayah yang sekarang termasuk daerah eks Karesidenan Kedu.
(Raditya Yoni Ariya/CN27) Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.comDapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar